Senin, 07 September 2009

Gerakan Perempuan dalam Bingkai Patriarkhi

Pandangan miring terhadap perempuan sudah cukup lama terjadi. Dalam� buku The Status of Women in Mahabarata, Prof. Indra menulis: �Tidak ada makhluk yang lebih berdosa daripada perempuan. Perempuan itu menyalakan api. Dia adalah sisi pisau yang tajam.� Efek dari pandangan diskriminatif mengakibatkan kekhawatiran terhadap perempuan. Tidak sedikit orang yang meyakini bahwa perempuan adalah sumber malapetaka, kerusakan suatu bangsa, dan pangkal kemerosotan moral. Mengikuti logika di atas, maka perempuan dilarang menjadi pemimpin.

Alih-alih menjadi pemimpin, kehadirannya pun membawa malapetaka. Bentuk klasik yang terus muncul�saat ini adalah pandangan para kiai/tokoh masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, perempuan ngurusi rumah tangga saja justru menghambat bagi para santriwati untuk maju. Kiai sebagai tokoh berpengaruh memiliki massa yang tidak sedikit. pemikiran itu terus tersebar dan berlangsung terus menerus, turun temurun dan menjadi fatwa yang ampuh untuk membatasi peran perempuan di lembaga-lembaga sekolah di pesantren. Contoh, Guru perempuan tidak bisa menjadi kepala sekolah, karena perempuan.

Asumsi semacam ini tentu saja bertentangan dengan sejumlah teks agama yang secara telanjang memberikan posisi dan derajat yang sejajar dengan laki-laki.

Lingkungan masyarakat desa, perempuan dianggap setengah manusia daripada laki-laki, itu pula perempuan dilarang menjadi pemimpin. Karena perempuan sibuk dalam urusan rumah tangga, sehingga peran publik dibatasi. Untuk mendobrak pandangan masyarakat desa yang seperti itu tidaklah mudah. Walau perempuan telah belajar disiplin ilmu, masih saja belum dipercaya menjadi leader (pemimpin).

Pengesahan terhadap Undang-Undang Pornografi tidak lepas dari pandangan di atas. Sebab, sorotan undang-undang tersebut lebih banyak kepada kaum perempuan yang membuka auratnya di depan publik. Dengan kata lain, perempuan diposisikan sebagai objek dari Undang-Undang, karena ia telah didudukan sebagai subjek yang mengumbar pornografi.

Peran seorang ibu rumah tangga dan karier di luar rumah menyita banyak waktu. Perempuan mesti berkorban banyak hal agar sukses keduanya. Jika tidak, akan terjebak pada istilah (double burden) peran ganda, sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik dan juga sebagai pencari nafkah keluarga.

Bagaimana menyerasikan keduanya antara peran domestik dan karier? itu pulalah yang menuntut perempuan untuk cerdas dan belajar mengambil tanggung jawab peran mana yang kan dilakukan. Bentuk lain yang muncul adalah perempuan sebagai pencari nafkah tanpa dibekali disiplin ilmu yang memadai. Akhirnya perempuan bekerja pada sektor buruh dan tenaga kasar.

Bagaimana sejarah Islam mencatat tentang perempuan?
Dalam sejarah awal-awal Islam (masa nabi), perempuan dan laki-laki berjalan setara. Perempuan biasa keluar masuk rumah, mesjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculannya ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah, yang tidak kalah hebatnya dengan ulama laki-laki, seperti Sahabat Abu Bakar.

Namun, kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan ini menjadi surut pasca wafatnya Nabi. Ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam Perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik, dikatakan sebagai biang kerok terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan ulama, sehingga tragedi itu dijadikan justifikasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah dalam dunia politik.

Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Walid (743-744 M), pada awalnya perempuan ditempatkan di harem-harem dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya hadist dan tafsir misoginis yang melecehkan perempuan.

Sesungguhnya, Islam sama sekali tidak membedakan jenis kelamin manusia. Yang membedakan antara laki-laki dan perempuan�disamping jenis kelaminnya (sex)�adalah derajat ketaqwaannya di hadapan Allah. Baik laki-laki ataupun perempuan, sama-sama memiliki potensi yang sama dan sejajar. Disinilah letak Maha Adilnya Allah SWT. Allah tidak membedakan antara satu makhluk dengan makhluk yang lain.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap perempuan, Allah juga memberikan ketentuan dan kategori-kategori perempuan ideal. al-Qur�an memberikan penjelasan yang cukup cemerlang. Allah berfirman (QS.. 30:41) Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Membaca ayat di atas sungguh sangat tegas betapa kerusakan dan malapetaka bukan saja disebabkan oleh satu jenis kelamin manusia (baca: perempuan), melainkan manusia secara umum tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin.

Tantangan bagi gerakan PSW/PSG untuk memberikan pencerahan bagi mahasiswa sebagai agen of change menjadi penting. Namun, sepertinya sebagian aktivis perempuan kehabisan �energi� untuk bangkit�perjuangkan keadilannya. Sebenarnya tema-tema persamaan, kesetaraan laki-laki dan perempuan ini klasik untuk diperdebatkan lagi, tapi pada prakteknya selalu muncul diskriminasi gender dalam wajah baru di laju modernisasi.

Upaya untuk mengatasi bentuk dominasi patriarkhi sebagai berikut;
Pertama, Mengupayakan gerakan perempuan selalu memberikan pencerahan pada masyarakat di sekitar, tentang budaya patriarkhi yang sebagian besar masih membelenggu.

Kedua, Gerakan perempuan setara dengan laki-laki dalam hal karier menjadi keharusan untuk dilakukan. Citra ideal perempuan menurut al-Qur�an adalah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah/QS. al-Mumtahanah/ 60: 12) sebagaimana Ratu Balqis, memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi/ QS. al-Nahl/16: 97), perempuan pengelola peternakan (QS. al-Qashash/28: 23), memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshy) yang diyakini kebenarannya, perempuan yang berani menyuarakan kebenaran dan melakukan oposisi terhadap segala kejahatan (QS al-Tawbah/9: 71), dan bahkan Allah menyerukan perang kepada suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Nasaruddin Umar, 1999).

Ketiga, Menyadarkan bahwa laki-laki juga bertanggung jawab untuk mengasuh anak-anak mereka, menemani dan merawat anak-anak adalah kewajiban bersama suami dan istri.

Keempat, Aktivis perempuan mesti menggali lagi komitmen yang sedari awal telah disadari konsekuensinya. Namun demikian, orang-orang di sekitar tidak boleh dipaksakan sama dengan pandangan aktivis perempuan, sehingga para aktivis tidak merasa �kangelan dhewe� dan membawa beban melihat orang-orang di sekitar hanya menonton seakan �menyoraki� nya pergerakan pemberdayaan perempuan.�

Dengan demikian, mengembalikan segala bentuk ketidakadilan adalah komitmen yang mesti dibingkai oleh keteguhan dan usaha terus menerus. []■

Tidak ada komentar: