Minggu, 16 Agustus 2009

Gagasan Sosial Demokrasi bagi Kaum Muda

Geliat perubahan era pasca otoriterisme saat ini memang cukup menggelisahkan kalangan aktivis pro demokrasi, kemungkinan juga masyarakat kebanyakan. Struktur politik telah bergerak pada bandul demokrasi, namun cenderung masih pada lintasan formalis, prosedural, dan akhirnya stagnan. Begitupun aktor-aktor politik yang berkuasa, tidak mampu lagi membawa perubahan sesuai dengan mandat reformasi. Rangkaian harapan besar menghiasi narasi perjuangan yang selama ini terpendam pada akhirnya mulai pudar, oleh karena demokrasi dalam pengertian substantif dan kesejahteraan tidak pernah terwujud. Apa yang salah atas semua ini?

***

Liberalisasi politik yang digapai, mengawali reformasi kala itu menjadi jalan raya menuju terbangunnya tata pemerintahan bersih, negara yang demokratik dan masyarakat sipil sejahtera. Parpol tumbuh subur ibarat jamur dimusim hujan, merayakan kontestasi pemilu 1999, 2004, sekaligus menjawab kehausan masyarakat Indonesia setelah sekian lama terbelenggu kebebasannya dalam artikulai politik. Media massa mendapatkan berkah mencari dan menyebarkan informasi secara leluasa, tidak ada lagi institusi politik pemerintah yang secara represi menyensor informasi. Perkembangan itu berlangsung pada fase-fase permulaan perubahan. Dapat dikatakan sebagai ujian awal.

Pada aras masyarakat sipil, terjadi peningkatan signifikan partisipasi sipil, berbagai upaya dan langkah pemulihan ekonomi diselenggarakan, desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dilakukan gencar, kampanye perjuangan HAM kian marak, reformasi sektor pertahanan dan keamanan juga menjadi perhatian banyak kalangan. Kesemua itu bagian harapan rakyat yang tidak didapatkan pada jaman rezim sebelumnya. Pertanyaannya, apakah perubahan tersebut sesuai harapan?

***

Kalau dicermati, institusional set-up demokrasi Indonesia condong berhaluan liberal. Instalasi demokrasi dibangun dengan mendasarkan pada perangkat-perangkat ideologi liberal berkiblat pada pengalaman Amerika Serikat. Terbangunnya struktur politik cita rasa liberal, persis bagaimana upaya-upaya modernisasi di sektor pembangunan menggunakan skenario ”menjiplak dan memaksa” tanpa memperhatikan konteks struktur sosial Indonesia. Tidak heran, jika perubahan berjalan terseok-seok karena kecacatan proses, antara pilihan format demokrasi dan kondisi struktur sosio-kultural. Fase kedua reformasi justru suasana makin mengkhawatirkan. Kendatipun tata kelembagaan dan prosedur demokrasi terselenggara, toh belum mampu menjawab problem bangsa ini secara signifikan, tepat dan menyentuh akar masalah. Demokrasi belum dipanen, sebagaimana kita cita-citakan yakni ”rakyat sejahtera, politik demokratis.

Sejumlah temuan riset, dinamika advokasi, penyelenggaraan kebijakan politik dan ekonomi, serta menyaksikan hasil ”audit demokrasi” sejauh ini, bahwa formalisasi demokrasi makin memerosotkan kualitas. Kondisinya compang-camping, yang diistilahkan Demos (2003) demokrasi kita dibajak elit karena mainstream perubahan dikendalikan secara oligarkhis. Gerak perubahan yang mengitari aras permukaan, betapapun pengalaman penyelenggaraan prosedur demokrasi telah ditempuh secara berulang-ulang, akhirnya jejak demokrasi termasuk di aras lokal lama-kelamaan makin punah karena ulah elit kekuasaan (IRE, 2003).

Pilihan demokrasi tidak dibuka perdebatan, karena skenario perubahan hanya didekte oleh model-model liberal formalis. Itulah yang menjadi konteks perlunya memulai belajar merancang dan menjalankan skema perubahan dengan mengoreksi secara paradigmatik, merefleksi menentukan pilihan format politik secara tepat dan sesuai untuk cita-cita konstitusi.

***

Tantangan ke depan praktik demokrasi Indonesia adalah perpaduan antara skema perubahan struktural aras politik dan ekonomi hendaknya mendasarkan keberpihakan pada kelas marginal. Pilihan seperti senafas perjuangan sosialisme, membangun tata politik yang berpihak pada kaum tertindas akibat perkembangan hegemonik kapitalisme internasional. Terobosan-terobosan reformasi selanjutnya, seharusnya diarahkan pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi (kerakyatan). Demokrasi ekonomi-politik Indonesia harus berpihak pada upaya pembebasan penindasan kelas pada stelsel bawah. Meluapnya paham neo-liberalisme yang menguasai kebijakan ekonomi Indonesia, marginalisasi itu makin terasa karena tuntutan penyesuaian struktural sesuai selera pasar. Jika demokrasi liberal yang sifatnya prosedural dianggap ternyata mengalami kegagalan serius karena terjebak pada formalisasi, maka pilihan sosial demokrasi dengan mencari nilai substansial menjadi penting untuk dipikirkan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Perbedaan cara pandang pilihan demokrasi hendaknya diupayakan ruang dialog dan pedebatan agar para aktivis demokrasi menyadari kebutuhan tersebut. Hingga kini kita masih dihantui masalah fragmentasi antar kelompok dengan segala pilihan ideologi, strategi perjuangan serta bermacam orientasi. Soal fragmentasi yang menjadi keresahan selama ini perlu menjadi perhatian serius agar diatasi. Itulah pentingnya konsolidasi.

Pandangan progresif Thomas Meyer (2007) dalam bukunya The Future of Social Democracy berkenaan dengan perlunya merumuskan secara tepat pertautan peran negara, pasar dan masyarakat sangat relevan untuk memperpanjang nafas perubahan ke arah demokrasi, sebagaimana misalnya dibutuhkan Indonesia, sekaligus dapat mengilhami gerakan reformasi baru ke arah demokrasi sosial. Itulah yang dimaksud konteks, alasan-alasan mengapa kita membutuhkan pemikiran alternatif menjawab kemandegan dan kebekuan demokrasi (Sorensen, 2003). Pemikiran sosial demokrasi (sosdem) yang lahir sebagai bentuk pembenahan keterbatasan pasar dan perlunya intervensi negara, menjadi landasan signifikan untuk terus dikembangkan saat ini dan dimasa-masa mendatang.

Sudah saatnya mengimbangi ide-ide hegemonik Fukuyama yang berupaya menghentikan ideologisasi (khususnya di negara berkembang), seolah kapitalisme dan demokrasi liberal adalah jalan satu-satunya negara-negara di dunia memperoleh kemajuan. Pilihan-pilihan perlawanan, sebagaimana pandangan kaum sosialis dengan merujuk Michel Newman (2006) tawaran baru sosialisme abad 21, juga Petras (2004) yang mengingatkan ancaman imperialisme abad 21, perlu mendapatkan perhatian bagi para aktivis pro demokrasi Indonesia. Newman juga memberikan gambaran beberapa masalah masa lalu, yakni soal dinamika negara-negara sosial demokrasi.

Neo-marxis di Indonesia makin digandrungi kalangan anak muda, hanya saja pilihan strategis gerakan diantara mereka itu belum dirumuskan dengan konsolidasi yang matang. Sebagian besar, meminjam istilah Anders Uhlin (1998), konsolidasi gerakan mereka yang berhaluan neo-marxis masih rapuh dan berserakan. Meski demikian, ruang perubahan dan amunisi perjuangan masih tersedia.

***

Atas dasar kesadaran tersebut, berbagai upaya untuk mendorong terjadinya artikulasi politik pada organisasi-organisasi gerakan semakin intensif dilakukan. Keyakinan akan pentingnya untuk merebut ruang-ruang kekuasaan dari kekuatan status quo dan modal ke kekuatan pro rakyat semakin menguat. Meskipun demikian, rupanya menguatnya kesadaran dan keyakinan untuk mengakhiri aksi-aksi yang hanya berputar-putaran di lingkaran luar kekuasaan tersebut menyisakan sejumlah agenda berat untuk mengatasi berbagai persoalan yang masih dihadapi oleh gerakan rakyat itu sendiri. Mendamaikan perbedaan cara pandang dan strategi, minimnya kader-kader politik yang dimiliki oleh kalangan gerakan rakyat, belum adanya political network atau “pipa–pipa penghubung” antar organ-organ gerakan dan antar wilayah-wilayah dan ketidakberdayaan kader-kader organisasi rakyat untuk mentransformasikan modal sosialnya menjadi kekuatan politik merupakan bagian dari daftar persoalan yang harus segera diatasi.

Dari sejumlah persoalan gerakan rakyat salah satu agenda mendasar yang dibutuhkan untuk mengakselerasi konsolidasi dan artikulasi politik pada organ-organ gerakan, yakni menyiapkan kader-kader yang memiliki kapasitas mumpuni untuk melakukan kerja politik konkrit dan mengisi posisi-posisi kekuasaan politik. Agenda ini penting mengingat keberhasilan perebutan kontrol kekuasaan ke tangan rakyat sangat ditentukan oleh keberhasilan memenangkan pertarungan politik melawan kader-kader kekuatan pro status quo dan modal yang selama ini telah berhasil menguasai relasi-relasi ekonomi, sosial, bahkan budaya.

***

Di Indonesia, perubahan sering identik dengan inisiatif kaum muda (mahasiswa). Sejarah perjuangan pemuda Indonesia begitu panjang. Peran mereka cukup signifikan, mendinamisasi kebijakan ekonomi politik, bahkan sampai pergantian rezim. Posisi ini nyaris sama dengan pengalaman negara-negara lain di kawasan Eropa, Amerika Latin, Asia, yang cenderung menempatkan posisi kaum muda sebagai sentral gerakan perubahan. Kaum muda adalah kelompok yang mengenyam pendidikan formal ataupun informal, yang memiliki kepekaan dan peduli untuk memperbaiki keadaan negara dan masyarakat dengan perangkat idealisme dan organisasi dimana mereka membesarkan pemikirannya.

Dilandasi oleh argumen itulah, pemikiran, perspektif dan ideologi sosial demokrasi tentu perlu dipelajari dan diperdalam sebagai alternatif pemandu perjuangan di golongan menengah para pemuda aktivis, karena watak idealisme dan kehausan pemikiran alternatif berpeluang besar diminatinya. Sejauh ini, gerakan mahasiswa maupun ormas pemuda telah memiliki jaringan kerja sosial, melalui kegiatan-kegiatan bersama dengan bermacam bentuk. Tantangan demokrasi hendaknya diisi para pemikir dan aktivis sosial demokrasi untuk bisa menjadikan pemuda, kaum terdidik aktivis sebagai bagian kekuatan mempengaruhi kebijakan di Indonesia. Hal ini bisa disebut bagian proses ideologisasi sebelum terjun di dunia politik praktis.

Tidak ada komentar: