Minggu, 16 Agustus 2009

Pilkadal dan Tantangan Demokratisasi Lokal

Perhelatan politik mutakhir yang menjadi perhatian banyak pihak saat ini adalah pemilihan kepada daerah langsung (Pilkadal). Dalam skema otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi, pilkadal ini memiliki makna strategis, khususnya berkenaan dengan agenda reformasi tata pemerintahan (governance reform). Pengalaman politik representasi yang diperankan DPR/D dalam hal pemilihan kepala negara atau daerah, nampaknya tidak memuaskan aspirasi masyarakat, karena kecenderungan lahirnya praktik manipulasi yang didorong oleh insterest politisi di parlemen itu. Melalui pilkadal ini, secara normatif suara rakyat memperoleh keleluasaan terartikulasi. Institusional set-up semacam itu mendasarkan keyakinan akan berkurangnya peluang keculasan, karena disana rakyat berkesempatan memilih sesuai kehendaknya, dibandingkan mewakilkannya kepada anggota parlemen. Lebih dari sekadar prosesi atau ritus politik, pilkadal menjadi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat. Jika menggunakan mekanisme demokrasi secara benar maka hal ini menentukan prospek terbentuknya bangunan kekuasaan lima tahun mendatang.

Berdasarkan evaluasi sejauh ini mengenai proses elektoral, kita saksikan dalam lima tahun terakhir terjadi kemerosotan kualitas demokrasi. Misalnya menurunnya kepercayaan masyarakat pada instrumen-instrumen politik strategis seperti pada parpol dan parlemen, bahkan juga kepada rezim yang tengah memerintah. Kendatipun angka “partisipasi” pemilih tergolong tinggi, namun kualitas partisipasi masih disangsikan. Berbagai pelanggaran selama pemilu dan pembelokan arah perubahan pasca pemilu adalah sekian banyak bukti indikasi kemerosotan kualitas demokrasi di era transisional. Secara umum, hal ini terjadi karena gagalnya proses transformasi demokrasi prosedural-formalis menuju demokrasi substantifis, yang menurunkan keyakinan rakyat mengenai perubahan melalui sistem elektoral itu.

Pertanyaannya adalah (1) apakah pilkadal ini akan berkontribusi pada kemajuan signifikan yang sekaligus mampu menjawab problem politik representasi yang gagal pada fase sebelumnya? Ataukah, justeru sebaliknya pilkadal kian menebalkan keraguan rakyat pada perubahan sekaligus menjadi petunjuk gejala titik balik demokrasi? (2) Apakah pilkadal ini mampu mendongkrak, lalu melahirkan terobosan baru bagi upaya peningkatan kualitas civic education? (3) Apakah, desentralisasi dalam pembentukan struktur pemerintahan akan mempermudah berlangsungnya democratic governance di aras lokal?

***

Pilkadal ini memang berkehendak baik, agar kekuasaan lahir dan terbentuk dari bawah dengan cara dipilih langsung. Calon Bupati atau Walikota, sebagaimana pemilu presiden 2004 lalu, dikondisikan untuk berinteraksi langsung dengan pemilih (rakyat) dan bukan sekadar kepada parlemen yang seringkali hanya diwarnai bau konspiratif dan elitis. Penilaian mengenai trackrecord, kualitas program, keseriusan dan komitmen calon pemimpin daerah diuji oleh publik dengan harapan masyarakat mengenali siapa yang layak dipercaya memegang kekuasaan untuk masa lima tahun mendatang. Karena strategisnya proses ini, maka membutuhkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan, dengan prinsip mengurangi tingkat spekulasi agar tidak terperosok pada praktik “memilih kucing dalam karung”.

Dalam aturannya, kewenangan mengajukan bakal calon hanyalah ditangan parpol, itupun dengan mensyaratkan bagi parpol yang mendapatkan perolehan kursi minim 15%, atau dengan mekanisme gabungan antar parpol kecil (baik yang memperoleh kursi maupun tidak). Dalam pilkadal ini, parpol memegang peran strategis. Jauh diatas spirit normatif itu, sayangnya parpol-parpol yang berkompetisi dan diharapkan menjadi mesin efektif pelaksanaan Pilkada memang belum sesuai harapan. Pada umumnya parpol belum melakukan reformasi internal dengan cara memperbaiki struktur, program dan komitmennya dalam menjalankan demokrasi secara lebih baik. Mulai dari problem oligarkhi, perilaku korupsi, sampai rendahnya komitmen pada aspirasi pemilih. Tentu hal-hal tersebut menjadi masalah yang terus menghantui para pemilih jikalau dalam skema pilkadal para parpol itu memiliki peran kunci. Partai-partai besar seperti PDIP, PKB, Golkar, PAN, PPP (kemungkinan juga PKS) dst sejauh ini dalam mekanisme hubungan kelembagaan internal parpol sendiri masih “kurang sehat” karena menggunakan cara-cara “komando” yakni determinasi kepentingan DPP atas suara DPD. Mekanisme internal partai semacam itu rawan konspirasi dan manipulasi, karena mendistorsi aspirasi dari bawah dan mengurangi nilai demokrasi.

Dalam beberapa waktu terkahir ini nampaknya sudah mulai muncul gelagat “perdagangan politik” ditubuh parpol, yakni menggejalanya tindak pemerasan (uang dan janji jabatan) saat pengajuan bakal calon. Kendatipun atas nama kepentingan menghidupi parpol (padahal kecenderungan faktanya hanya untuk kepentingan elit parpol dan politisi itu), cara-cara ini jelas menutup peluang bagi mereka yang berkualitas baik tetapi tidak memiliki kecukupan modal (uang) dalam persaingan. Itulah distorsi nilai demokrasi yang menjadi paradoks dalam pilkadal kali ini.

Kita saksikan juga, kenyataan terputusnya hubungan massa dengan parpol serta kemerosotan kepercayaan warga atas proses politik yang terus meluap dan tidak segera diatasi atau diselesaikan, maka dikhawatirkan pilkadal tidak mampu mendongkrak partisipasi dan harapan masyarakat. Dalam kondisi semacam inilah kemungkinannya ada dua hal; pertama, terjadi gelombang pembangkangan melalui golput, ataukah kedua, menebalnya pragmatisme dengan praktik money politic. Pilihan tersebut jelas akan mengurangi makna strategis dan bobot demokrasi, atau berpotensi menjadi “demoralisasi politik”. Itulah yang dimaksudkan dengan kesenjangan antara arus formal dan arus substansial, karena pilkadal nampaknya hanya bersandar pada institusional set-up (prosedural) tetapi mengabaikan keadaan struktural-empirik masyarakat (pemilih). Para politisi dan aktivis parpol nampaknya tidak sensitif pada keadaan semacam ini, dan barangkali justru “menikmati” ketidakberesan arus politik yang terjadi.

Jawaban atas masalah itu akan bisa mempengaruhi keadaan, prospek atau masa depan perpolitikan daerah, antara perbaikan kualitas demokrasi lokal, ataukah menjadi titik balik hancurnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi.

***

Sisi lain yang juga perlu diperhitungkan adalah, kecedenrungan perubahan pola kekuasaan, antara negara (pemerintah), political society dan masyarakat sipil, serta hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Sejak terbitnya UU No. 32/2004 tentang pemerintah daerah (menggantikan UU No.22/99 tentang otonomi daerah), telah membuyarkan harapan reformasi melalui otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi lokal. Watak regulasi itu, sebagaimana dikritik oleh berbagai pihak dianggap sangat sentralistis, dengan pretensi akan mengembalikan orientasi kekuasaan persis jaman orde baru bermodel komando pada negara dan pemerintah pusat. Dengan skema resentralisasi, secara skeptis dapat dikatakan bahwa pilkadal ini kemungkinannya hanya menjadi basis legitimasi posisi eksekutif (Bupati, Walikota), juga Gubernur dan Presiden, dengan dikonstruksikan sebagai kekuasaan yang legitimate (karena dipilih langsung) ketika berinteraksi dengan kekuatan politik lainnya. Dalam konteks semacam itu, dimungkinkan akan berpotensi munculnya kembali karakter kekuasaan yang otoriter, karena alat-alat politik (parlemen di tingkat pusat dampai desa) sebagai institusi kontrol dan penyeimbang, serta kekuatan masyarakat sipil lainnya makin dilucuti. Sebut saja misalnya, Bupati dan Walikota akan bertanggungjawab pada Presiden melalui Mendagri, dan secara “formal” tidak bisa dijatuhkan oleh rakyat atau parlemen daerah. Sama halnya dengan seorang kepala desa (lurah) dengan dasar regulasi itu pada akhirnya bertanggungjawab pada Bupati, bukan lagi pada BPD (sebagai alat-alat politik rakyat). Itulah paradok kedua pilkadal yang mengkhawatirkan.

Dengan begitu, jika gagal diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi (partisipasi kritis, transparansi, konrol dan akuntabilitas) maka Pilkadal juga sama halnya mengulang keadaan pemilu presiden tahun 2004 lalu, yang hanya menyedot energi rakyat dengan menghasilkan pemimpin yang “merasa kuat” karena dipilih rakyat, tetapi produk pilpres langsung lalu atau pilkadal tidak menjadi garansi bahwa seorang presiden, bupati atau walikota berpihak pada rakyat. Ingatlah pengalaman tragis pilpres, dimana rezim SBY melalui kebijakan kenaikan harga BBM yang terus ditolak atau ditentang rakyat kebanyakan, tetapi toh tetap dipaksakan oleh presiden SBY dengan bersekongkol bersama parlemen.

***

Bagaimana keadaan tersebut dicari formula untuk mengatasi berkenaan dengan pilkadal? Berikut ini beberapa hal penting yang barangkali perlu dipertimbangkan, untuk mengkondisikan agar kualitas demokrasi dalam pilkadal ini dapat lebih baik.

Pertama, perlunya memperkuat bargaining position rakyat dalam proses politik di tingkat lokal, untuk menghindari terjadinya distorsi partisipasi. Kendatipun partisipasi menjadi syarat berdemokrasi, namun dalam pilkadal nanti partisipasi harus berorientasi lebih progresif dan terkonsolidasi. Partispasi bukan hanya perpijak pada kesadaran individual warga, namun hendaknya ditransformasikan menjadi kekuatan kolektif dengan cara memperkuat organisasi-organisasi kewargaan (politisasi rakyat) menghadapi arena pilkadal. Pilihan aktivitas seperti pemantauan pemilu, mendorong dan memperkuat partisipasi kritis pemilih, serta model kontrak politik barangkali perlu diupayakan lagi dengan kualitas yang lebih maju.

Kedua, mencegah dan mengantisipasi kekerasan antar warga sebagai pemilih, yakni melalui cara pengelolaan, resolusi dan transformasi segala potensi dan bentuk aktual konflik agar tidak mengarah menjadi kekerasan. Berdasarkan pengalaman dalam pemilu sejauh ini, potensi kekerasan di masyarakat justeru sebagian besar bersumber dari ulah elit politik dengan cara-cara mobilisasi dan manipulasi atas partisipasi dengan memanfaatkan pragmatisme serta ketidakberdayaan warga. Kerentanan warga atas manipulasi elit politik perlu segera diatasi dengan membangun sejak awal aliansi-aliansi warga lintas komunitas, atau lintas sektor dengan basis kepentingan dan program yang sama. Dengan cara ini warga dikondisikan membangun solidaritas bersama atau bersatau, dibanding sentimen kelompok.

Ketiga, memastikan agar terjadinya perubahan menuju kondisi yang lebih baik pasca pilkada. Selain memikirkan proses pemilu, antisipasi pasca pemilu juga harus dilakukan demi mencegah kecenderungan ingkar para tokoh terpilih kepada rakyatnya. Caranya, masyarakat sipil didorong untuk aktif melakukan kontrol atas jalannya kekuasaan secara berkelanjutan melalui model extra-parlementer. Memperkuat kapasitas organisasi sipil sebagai bagian proses mengawal agenda kontrak politik yang telah dilakukan, bahkan juga membangun jembatan atau aliansi strategis masyarakat sipil dan parlemen lokal.***

Tidak ada komentar: