Minggu, 18 Oktober 2009

Kota Tua Lebong Tandai part 1

Lebong Tandai "Batavia Kecil" Tempat Dimana Emas Monas Berasal
Catatan Perjalanan ke Kota Tambang Tua Bersejarah

Sumber: rejang-lebong.blogspot.com

"Perjalanan menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai). Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa kemerdekaan ini.


Lebong Tandai 1910

Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih.


Salah satu lembar saham tambang emas tertanggal 2 january 1904, bernilai 100 gulden, bukti bahwa perusahaan ini sudah go publik sejak dahulu. Tambang-tambang Emas rejang Lebong telah mulai di eksplorasi besar besaran oleh Belanda sejak tahun 1897.

Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam. Setiba dipangkal desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh
Dr. AK Gani Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan.

Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan
melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.

Setelah itu, kita kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang
adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun. Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Mengingat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel. Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan
atau dibelakang Molek yang kita tumpangi.


Kebanggaan Masyarakat Bengkulu: 35 Kg emas murni dari Lebong Tandai

Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk diketahui sejak jaman
penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan).

Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek (+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan
tambang.

Warung-warung berjejer dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa. Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah
melewati perjalanan selama 3, 5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini. Berbicara tentanghiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat. Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi.


Lebong Tandai 1900

Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia. Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1980an didesa ini ada 3 kelompok musik/band yaitu Anior, Trinada
dan Puspa Ria. Bahkan menurut warga, pada masa PT Lusang Mining mengelola tambang ini hampir saja ada lokalisasi, karena PT Lusang Mining ingin menerapkan ‘single status’ (hidup dilokasi tambang tanpa boleh membawa istri).

Selain itu, hampir setiap ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan RI Camat memilih mengunjungi desa ini untuk merayakannya dengan berbagai aneka kegiatan dan berziarah ke makam pahlawan bersama warga desa. Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin.

Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang.

Desa ini dulunya pernah ditinggalkan penduduknya pada tahun 1988 karena pengusiran yang dilakukan oleh PT Lusang Mining sebuah perusahaan PMA yang sahamnya sebagian dimiliki oleh Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana (Mantan Presiden Soeharto). Sebanyak 108 KK ditransmigrasikan secara paksa ke Trans Ipuh Kabupaten Muko-muko. Hanya sedikit warga yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi diantara yang menolak itu adalah Mahyudin (54) konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan, misalnya dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati rute hutan jika ingin pergi keluar desa. Namun hal itu ada hikmahnya misalnya bagi Mahyudin , dengan situasi sulit itu kemudian dia
mendapat keahlian baru yaitu beralih profesi menjadi pandai besi dengan membuat alat-alat dapur dan pertanian, seperti pisau dan cangkul, kemudian dijual kepada para pekerja PT Lusang Mining.

Untunglah situasi itu tidak berlangsung lama karena pada tahun 1994 PT Lusang Mining bangkrut. Banyak pekerja yang tidak dibayar gajinya hingga saat ini, aset rumah dan gedung sebanyak 45 unit dan alat-alat tambang ditinggalkan begitu saja oleh pihak PT Lusang Mining.
Penduduk yang tadinya ditransmigrasikan, kembali ke Lebong Tandai. Beberapa pekerja khususnya yang memiliki sertifikat juru ledak dinamit dan pengeboran banyak yang pindah bekerja di PT Freeport Papua. Sekarang ini masyarakat belum berani membuat bangunan permanen, kebanyakan masih memanfaatkan sisa-sisa bangunan bekas Belanda atau PT Lusang Mining. Mereka trauma dengan kejadian pengusiran yang pernah mereka alami.

Salah satu yang mereka sesalkan adalah tidak adanya pembelaan dari pemerintah waktu itu pada saat mereka diusir padahal usaha ‘proyek’ (sebutan untuk lokasi penambangan emas) milik warga dilengkapi dengan ijin usaha (HO) dari pemerintah dan tidak lupa membayar pajak. Padahal bukti pembayaran pajak dan surat Ijin usaha itu menunjukkan kekuatan hukum warga atas usaha yang dikelolanya.

Karena kita tiba didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada didesa ini. Namun jangan lupa
membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah yang bisa kita kunjungi antara lain :

Tambang Emas TradisionalPerusahaan yang pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada 3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.

Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kabupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.

Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.

Tidak ada komentar: