Minggu, 18 Oktober 2009

SEJARAH BENGKULU

SEJARAH BENGKULU

Rosihan Anwar (tokoh pers nasional) dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia menyebutkan, bahwa sebutan masa dahulu Bengkulu adalah Silebar. Wilayah bernama Silebar ini terkenal sebagai penghasil lada.

Pedagang dari Kerajaan Tarumanegara di sekitaran Citarum, Jawa Barat yang eksis sekitar abad ke-4 sampai 7 Masehi diketahui sudah mengunjungi Silebar (selanjutnya disebut Bengkulu) untuk membeli lada. Kesultanan Banten lantas menguasai Bengkulu pada abad XVI.

Ini menimbulkan pula keberpihakan Bengkulu secara politis pada Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1683) yang saat itu memimpin Kesultanan Banten ketika badai politik menghantam Banten. Kala itu terjadi sengketa antara putra Sultan Ageng Tirtayasa yakni Sultan Haji dan Sultan Purbaya yang kemudian disusupi oleh Belanda.

Belanda, kemudian membantu Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Bisa ditebak bahwa setelah Belanda mengirim pasukan untuk membantu Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa pun dapat dikalahkan.

Selanjutnya adalah kesepakatan soal kompensasi atas bantuan Belanda pada Sultan Haji. Tanggal 22 Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani perjanjian dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), organisasi dagang Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) antara tahun 1602-1800.

Selain perjanjian, yang menurut Rosihan Anwar, merugikan Banten, dampak lain dari perjanjian itu adalah terpaksa keluarnya orang-orang Inggris dari Banten. Karena Bengkulu secara politis masih mendukung Sultan Ageng Tirtayasa, maka orang-orang Inggris yang terpaksa keluar dari Banten pun menuju ke Bengkulu.

Sejumlah pejuang Indonesia yang lari dari kejaran Belanda pun kerap menjadikan Bengkulu sebagai tujuan. Selain itu, Bengkulu juga dikenal jadi lokasi pembuangan pejuang atau tokoh politik Indonesia.

Sentot Alibasyah Prawirodirjo (1825-1942), salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro yang masyhur dibuang ke Bengkulu dan dimakamkan pula di Kota Bengkulu. Presiden Pertama RI, Soekarno, antara 1938-1942 diasingkan pula ke Kota Bengkulu.

Soekarno, bertemu Fatmawati di Bengkulu.

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles lalu menjadi Gubernur Bengkulu pada 1818. Jabatan ini disandang Raffles usai dipromosikan setelah dianggap paripurna sebagai Letnan Gubernur Jawa mulai 1811 dan ketika Inggris mulai mengakusisi daerah-daerah jajahan Belanda saat Perancis lewat Napoleon Bonaparte yang lahir di Korsika menduduki Belanda.

Raffles ingin mendirikan sebuah Kerajaan Inggris Nusantara, yang secara politis kira-kira ingin menyaingi kekuasaan Belanda dan VOC sebagai mesin ekonominya.

Tapi Pemerintah Inggris menentang. Maka, Raffles pun mulai melirik Singapura.

Padahal Raffles, bersama koleganya Arnold, menemukan bunga parasit tak berakar yang diameter kembangnya terbesar di dunia. Namanya Rafflesia Arnoldi.

Tapi rupanya Pemerintah Inggris tak mengganggap prestasi Raffles sebagai penemu bunga bangkai terbesar di dunia itu berkaitan dengan tugasnya sebagai pemimpin pemerintahan. Hmmm, ilustrasi bagus buat calon anggota legislatif nih.

Kemudian, usai Traktat London pada 1824, Belanda menyerahkan Singapura kepada Inggris. Konsekuensinya, seluruh orang Inggris yang tadinya berada di Bengkulu angkat kaki, dan diganti oleh orang-orang Belanda beserta VOC sebagai penghelanya.

Kisah selanjutnya bisa sedikit terbaca, karena Raffles lantas sukses dengan “proyek” Singapura yang kini bolehlah disebut sebagai salah satu “adidaya” Asia. Bengkulu, yang secara geografis disebut relatif terpencil dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera, kemudian dipeluk oleh kekuasaan Belanda (1825-1942).

Kurang lebih 150 tahun orang-orang Inggris berada di Bengkulu hingga 1825. Peninggalan orang-orang Inggris selama sekitar 150 tahun di Bengkulu banyak ragamnya.

Sekalipun tak melulu harmonis hubungannya dengan penduduk setempat karena Kapten Hamilton tewas oleh rakyat pada akhir abad XVIII . Lalu Residen Thomas Parr yang meregang nyawa pada 1805 setelah dibunuh dan meninggalkan sebuah monumen indah di sebuah simpang Kota Bengkulu hingga kini.

Sejumlah peninggalan orang-orang Inggris selama sekitar 150 tahun di Bengkulu itu berkisar pada sejumlah aspek hidup.

Dari khazanah arsitektur ada Benteng Marlborough di Kota Bengkulu, yang kerap jadi tempat saya nongkrong melepas penat sembari bengong menatap laut lepas. Benteng dengan pondasi kokoh ini tak pula bergeming oleh hantaman gempa dahsyat berkekuatan 7,3 skala Richter pada 4 Juni 2000 lalu.

Pada perbendaharaan bahasa, sejumlah kata punya lafal yang nyerempet pengucapan dalam Bahasa Inggris. Sebutlah seperti “poket” untuk kantong, “jel” untuk penjara, "bol" untuk bola, "trai" untuk mencoba, dsb.


dikutip dari journalist blog network - kompasiana

Tidak ada komentar: