Senin, 19 Oktober 2009

Pro Rakyat

KabarIndonesia - Sebuah pertanyaan di malam itu cukup mengganggu pikiranku, hingga mata ini sulit untuk terpejam. Ada soal yang menggantung di relung batin. Mampukah orang Papua bertahan dan bahkan bertumbuh di tengah pusaran topan globaliasi yang menderu?.

Adalah fakta, bahwa masih banyak penduduk yang tinggal di pelosok pedalaman, di puncak-puncak gunung, di kedalaman lembah-lembah, yang belum mengenyam terangnya pendidikan. Jumlah masyarakat Papua yang belum bisa membaca dan menulis masih cukup tinggi.
Hidup … bukanlah hidup, jika tanpa nurani.

Sekiranya persoalan ini perlu bahkan harus menjadi pergumulan kita bersama, tidak sekedar menjadi wacana tetapi bisa mewujud dalam karya-karya nyata. Kita semua yang fasih menggunakan atau menikmati teknologi, misalnya facebook, selayaknya mengucap syukur atas kehidupan kita. Di seberang sana masih ada sesama kita yang bahkan tidak bisa memiliki baju seragam. Kita pengguna warnet, bisa menghabiskan paling rendah 20 ribu untuk mengakses informasi.

Sayangnya masih banyak saudara-saudara kita yang masih kesulitan untuk makan selayaknya seorang manusia. Bagaimana mereka bias berpikir untuk sekolah kalau untuk sekedar makan saja begitu sulit.
Imajinasiku kemudian pergi ke Surga, kehadapan Tahta Yang Maha Kudus. Seandainya Tuhan bertanya: “Habelino, apa yang sudah engkau kerjakan selama hidupmu?”.

Aku tidak tahu, harus menjawab apa. Hatiku pasti hancur berkeping-keping, menyadari kelalaianku menyia-nyiakan anugerah Tuhan.
Hampir di semua media, baik cetak maupun elektronik, kita bisa ikuti, seluruh petinggi bangsa berkata: “Pro Rakyat”. Tetapi benarkah? Pertanyaan ini bukan sekedar titisan buah piker Reine Descartes, melainkan sebagai cermin guna kita merefleksi diri kita masing-masing.
Pro rakyat tidak harus dengan jalan menjadi elit. Tidak harus dengan menjadi pengusaha sukses dan kaya yang selalu menang tender, tidak harus menunggu sampai kita memiliki posisi dan jabatan yang empuk. Sikap yang pro rakyat bisa dimulai dari orang-orang terdekat kita, lingkungan kita, di sepanjang Onix dan Prima Garden Abepura, tempat anak-anak jalanan berkelahi dengan waktu.

Pro rakyat bisa dimulai dari kampus, gereja, masjid, dan organisasi apapun di mana kita bernaung. Pro rakyat mengandaikan hati seorang pelayan.

Aku ingin tidur, Tuhan. Biarlah pikiran-pikiran ini hilang sejenak, agar mataku, pikiranku beristirahat sejenak. Itu doa di hati karena malam yang semakin larut dan tubuh yang semakin letih dan lelah.

Sayangnya, doaku tak terkabul. Pikiran-pikiran tentang mereka yang membutuhkan uluran tangan masih membuntuti kepalaku.
Akhirnya kuputuskan bangun dan menjalin persahabatan dengan buku dan pena. Seiring tiba sang penakluk matahari, bintang timur yang gilang-gemilang, Sera Adora, aku mulai menulis.

Pengertian pro rakyat bisa dienterpretasi secara berbeda-beda oleh masing-masing orang. Ada yang dengan lantang dan penuh percaya diri berusaha menawarkan pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya secara gratis. Artinya, kalau rakyat tidak mampu, segalanya akan dicukupi atau dibayar oleh pemerintah, apakah dari pendapatan pajak, penghasilan BUMN, atau pinjaman.

Umumnya para calon melihat dari penyediaan sekolah, fasilitas kesehatan dan modal kerja diiringi perbaikan infrastruktur serta penyediaan dana yang disalurkan melalui bank dengan sistem pasar terbuka. Padahal di bagian sana ada faktor manusia, penduduk atau keluarga, yang nilai Index Pembangunan Manusianya (IPM) amat rendah sehingga hampir tidak mampu menjangkau fasilitas yang disediakan tersebut.

Indikator keberhasilan diukur dengan miliar atau triliun rupiah yang disediakan, tidak pada jumlah atau berapa banyak keluarga tidak mampu bisa menjangkau, atau meningkat kemampuannya mengakses sekolah atau fasilitas pelatihan keterampilan sehingga makin cerdas dan mampu mengambil prakarsa dan inisiatif.

Hidup adalah pilihan. Memampukan masyarakat kecil agar mampu memilih dan bertanggungjawab atas pilihan mereka adalah sikap yang selayaknya dijunjung. Membuat hidup lebih hidup, begitu bunyi sebuah iklan di TV.

Atau mampu mengakses fasilitas kesehatan agar bertambah sehat dan usianya panjang, atau makin banyak penduduk mampu mengakses modal agar sanggup menjadi pemilik usaha yang terhormat dan usahanya memberi nilai tambah tinggi yang mampu mengangkat derajat dan martabatnya sebagai manusia terhormat.

Mampu berpikir, bertindak dan berbelanja secara mandiri karena tidak harus mengikuti standard yang ditetapkan seperti beras murah, sekolah gratis atau kesehatan tidak bayar tetapi harus tunduk pada batasan standard pelayanan sederhana yang disediakan rumah sakit yang mempertontonkan ketidak-adilan pelayanan yang menyakitkan hati.

Tantangan pembangunan masa depan seharusnya menempatkan sesama (baca: manusia) sebagai titik sentral pembangunan. Penempatan manusia sebagai titik sentral pembangunan tidak boleh hanya menjadi monopoli pembangunan politik yang memberikan hak kepada setiap penduduk untuk mempunyai suara sama, tetapi menyebar pada seluruh proses pemberdayaan yang demokratis dan meletakkan pilihan pada setiap penduduk. Pendekatan ini memerlukan cara pandang penawaran pembangunan yang berbeda. Sekali lagi ukurannya adalah manusia.

Untuk itu kita perlu memperkuat komitmen dan dukungan operasional pada pemberdayaan keluarga melalui pengembangan kembali modal sosial berupa budaya hidup bersama dan berbagi. Kebersamaan antara mereka yang sudah berhasil dan keluarga tertinggal, kepedulian antar sesama anak bangsa, dan keikhlasan yang di masa lalu menjadi ciri bangsa yang sangat beradab dan dinilai banyak kalangan sebagai bangsa yang berbudaya.

Pendekatan pembangunan ini, harus menempatkan birokrasi yang menurut anggapan banyak kalangan harus direformasi, menjadi kekuatan pendamping, kekuatan fasilitator yang bertindak sebagai guru yang bangga melihat murid atau siswanya maju melebihi dirinya. Birokrasi yang bangga melihat rakyatnya berubah menjadi pengusaha yang dengan kesadaran tinggi, karena mendapat pendampingan, dan fasilitasi yang positif, akan membayar pajak.

Proses pemberdayaan itu keberhasilannya diukur dari makin berkembangnya jumlah penduduk yang maju, terbebas dari kebodohan, terlepas dari lembah kemiskinan, dan kembali menjadi masyarakat gotong royong yang insannya sangat peduli terhadap sesama. Bukan pada berapa miliar atau triliun rupiah yang dianggarkan.

Setiap kita haruslah memikul tanggungjawab sosial memberdayakan sesama kita.

Akhirnya, mata ini tak sanggup lagi, aku tertidur di atas sahabatku, buku dan pena. Semoga di esok hari, ku terbangun dengan sukacita baru, dengan hati yang baru, hati seorang pelayan.
Semoga setiap kita menjadi pro rakyat yang sesungguhnya, agar kita tak malu saat kita ke sorga loka.

(Pendiri dan Ketua Umum I Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia)

Tidak ada komentar: